Monday, May 14, 2007

Dewi “Dee” Lestari

Menulis. Inilah kegiatan yang paling dekat dengan kehidupan seorang Dewi Lestari saat ini. Penyanyi yang pernah tergabung dalam Trio Vokal Rida Sita Dewi ini semakin dikenal oleh masyarakat luas setelah novel pertamanya, Supernova Satu, menjadi Best Seller.

Kemampuan ibu satu putra ini dalam hal tulis-menulis tidak perlu diragukan lagi. Dee, sapaan akrabnya, sudah sejak lama gemar menulis cerita, hanya saja karya-karyanya tidak ada yang dipublikasikan.

“Menulis itu membantu kita menemukan diri kita yang sejati, lewat setiap kisah yang kita tulis, apapun bentuknya, adalah perjalanan menemukan diri dan memaknai dunia,” ujar Dee saat menjadi pembicara dalam Pelatihan menulis di salah satu kampus di Bandung.

Selama beberapa tahun ini Dee sudah menghasilkan empat novel yang berbau sains. Dee menyadari hasil karyanya tersebut bukanlah bacaan yang ringan bagi orang-orang yang ingin membaca hanya untuk mendapatkan hiburan. Kendati demikian, banyak pula orang yang menyukai hasil tulisannya meski tak sedikit yang berkomentar tidak mengerti.

Menulis itu harus berani, begitu prinsip Dee. Menjadi kreatif adalah suatu tindakan yang berani. Menurutnya, menciptakan sesuatu adalah pengalaman misterius yang kenikmatannya tidak terukur. Bahkan tak jarang hasil kreasinya mengejutkan dirinya sendiri.

Pada dasarnya Dee adalah pembaca buku yang haus akan pengetahuan. Istri dari penyanyi Marcell ini banyak membaca buku non-fiksi untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Dari kegemarannya membaca karya non-fiksi, menggelitik Dee untuk menghasilkan karya yang berkualitas.

“Bukan hanya hiburan, tapi juga mencerdaskan,” ujar anak keempat dari lima bersaudara ini.
Tentu bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah tulisan yang 'berbobot'. Tetapi Dee menekankan kepada siapapun yang ingin menjadi penulis, bahwa yang paling penting dan dapat dilakukan adalah yakin kepada diri sendiri. “Believe it yourself,” ujar Dee membakar semangat puluhan peserta yang serius mendengarkan petuahnya.

Dee menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih mengerti tulisan seseorang selain si penulisnya. Maka dari itu, sang penulis harus jadi motivator, kritikus, sekaligus penyemangat bagi diri sendiri. Jadi penulis harus rajin memberikan pujian dan penghargaan terhadap karyanya sendiri dan yakin bahwa dirinya mampu menjadi penulis.

“Kalau belum yakin juga, pura-pura aja yakin...” ujar Dee sambil tersenyum “kalau kita terus-menerus ragu sama diri sendiri, kita tidak akan mencoba, iya kan?” tambahnya.

Tetapi setelah semua itu, bukan berarti tidak ada hambatan dalam proses menulis. Dee mengibaratkan beberapa hambatan tersebut dengan karakter tokoh-tokoh dalam serial Unyil.

Dee menggunakan metode tersebut agar para peserta pelatihan lebih mudah memahami. Dia mengibaratkan tokoh Pak Raden sebagai sesuatu yang akan mengintimidasi pikiran sang penulis dengan berbagai tuntutan. Dee punya kiat sendiri untuk mengatasi hal tersebut, dia menyarankan kepada calon penulis agar berani untuk berbuat salah, konyol, atau acak-acakan dalam sebuah tulisan. Jika tuntutan Pak Raden sudah berhenti, itu adalah saat yang tepat untuk ikut berhenti dan mengoreksi kembali apa yang sudah ditulis.

“Rileks aja, kalau kita ingin sempurna pada awal proses justru sering menghalangi kita dari proses kreatif,” ujar Dee yang ingin berkolaborasi untuk membuat skenario dengan kakaknya, Key Mangunsong, yang seorang sutradara.

“Jangan takut berinovasi, membuat sesuatu yang aneh, kita harus mampu berekspresi dan membuat sesuatu yang beda, itulah jatidiri kita,” tambah Dee.

Menurut wanita berdarah Batak ini menulis bukan sekedar nongkrong berjam-jam di depan komputer atau mengisi lembar-lembar kosong. “Menulis itu proses menghidupkan dan mengembangkan kesadaran kita akan hidup ini,” tambahnya.

Dee yakin semakin sering menulis, seseorang akan semakin nyaman dan percaya diri dalam mengekspresikan perasaan dan keunikan dirinya pada dunia. Keyakinan itu pula yang membuat dirinya berani meluncurkan sebuah buku berjudul Filosofi Kopi tahun 2006 lalu. Buku tersebut merupakan kumpulan cerpen yang dia tulis selama kurun waktu sepuluh tahun.

“Sebenarnya masih banyak naskah saya yang belum keluar kandang, tapi saya janji akan mempublikasikannya,” ujar penulis yang tahun ini berencana meluncurkan buku kedua yang berisikan kumpulan cerpen.

Namun buku yang diberi judul Rectoverso ini sedikit berbeda dengan Filosofi Kopi. Sesuai dengan arti kata Rectoverso yang berarti cermin, Dee mengungkapkan bukunya kali ini merupakan fiksikalisasi musik, cerita-cerita yang ada di dalamnya adalah cerminan dari lagu-lagu yang dia tulis. Lagu-lagu tersebut dia kemas dalam bentuk CD yang akan dijual bersamaan dengan bukunya.

Bukan Dewi Lestari namanya jika tidak membuat kejutan dengan karya-karyanya. Dia selalu ingin menyuguhkan sesuatu yang lain daripada yang lain. Bernyanyi, menulis, membuat lagu. Dan kini ketiga hal tersebut ada dalam satu paket.

“We have to come as a surprise, kita harus datang dengan sebuah kejutan,” ujarwanita kelahiran Bandung 31 tahun silam mengutip kata-kata Al Pacino dalam film Devil’s Advocate.

Memang banyak kejutan dalam hidup ibu dari Keenan Avalokita Kirana ini. Setelah dia dan suaminya memilih untuk menganut agama Budha, tahun lalu penyanyi yang sudah memiliki satu buah album solo ini memutuskan untuk berpola makan vegetarian.

Keputusan tersebut bukannya tanpa pertimbangan, banyak alasan yang membuat Dee mengambil langkah tersebut.. Awalnya Dee menemukan banyak hubungan antara pola makan dunia dengan krisis lingkungan dan gizi, dan pola makan yang buruk akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Mengetahui hal itu, wanita yang selalu menyempatkan berolah raga ini ingin berkontribusi terhadap penyelamatan
lingkungan dengan cara yang dia bisa.

Selain itu, Dee juga merasakan manfaat yang besar dari kebiasaan barunya itu. Wanita yang kini tinggal di Bandung bersama sang suami tercinta, merasa daya tahan tubuhnya meningkat. Dee menambahkan tekadnya untuk menjadi vegetarian semakin bulat karena suaminya dan juga Keenan sudah menjadi vegetarian lebih dulu. Sejak umur satu tahun, putra semata wayangnya itu tidak mengkonsumsi daging.

“Dia menolak daging apapun dalam makanannya, kalau sudah keburu masuk mulut, pasti dia keluarin lagi,” lanjut Dee.

Jika dilihat sekilas, seorang Dewi Lestari sama seperti wanita pada umumnya. Tetapi di balik itu, tersimpan pemikiran-pemikiran yang dalam dan matang mengenai hidup. Dee banyak mengisi waktunya untuk melamun, merenung, dan mengamati.

“Sebagai seorang penulis berarti menjadi seorang pengamat yang baik,” ujar Dee mantap. Menurutnya, observasi membawa wanita berambut pendek ini kedalam proses berpikir dan perenungan. “Dari situlah seseorang bisa mencipta dan berefleksi,” Dee menambahkan.

Kesibukan dan segala aktifitasnya tidak membuat Dee melupakan kegiatan keagamaan. Bulan ini Dee berangkat ke Hongkong untuk kegiatan keagamaan.
“Saya tujuh hari di Hongkong untuk retreat meditasi dengan Bhikku YM Thich Nhat Hanh dari Prancis,” ungkap Dee yang hanya ingin berkonsentrasi di tempat meditasi di Hongkong.

Menurut Dee, spiritualitas adalah muara terakhir seorang manusia, “orang akhirnya akan berkumpul disana sekalipun saat ini kita mungkin lebih tertarik pada minat-minat duniawi,” ujar Dee yang tahun ini juga berencana meluncurkan Supernova dengan judul Partikel.


Dari Dee untuk Lingkungan


Tidak banyak yang bisa menerka hubungan erat antara vegetarian dengan penyelamatan lingkungan, tetapi Dee memiliki argumentasi, analisa dan pengetahuan yang mendalam mengenai hal tersebut.

“Saya ngga tega melihat hewan-hewan dijagal,” itu hanyalah alasan sederhana pemicu dirinya untuk tidak lagi mengkonsumsi makanan dari hewan.

Tetapi melalui penelusurannya, Dee menemukan banyak hal yang terkait antara pola makan dunia dengan kerusakan lingkungan, hal yang jarang terpikir oleh orang lain. Dee mengatakan bahwa di beberapa negara di dunia, sebagian besar hasil perladangan bukan untuk memberi makan manusia, seperti Amerika yang 80% hasil panen gandum dan jagung diberikan kepada hewan ternak karena ada tuntutan industri daging.

Lalu apa kaitannya?Wanita yang sedang concern pada masalah lingkungan ini menambahkan bahwa ekskresi pada populasi hewan 130 kali lipat dibandingkan ekskresi yang dihasilkan populasi manusia. Hal itu berarti industri daging menyumbang besar dalam polusi udara, air, dan tanah karena hewan ternak, dalam hal ini sapi, merupakan penghasil metan dalam skala besar. Siap-siap hujan asam.

Populasi hewan ternak yang tinggi itu sendiri, masih menurut Dee, dikarenakan ketergantungan manusia pada pola makan daging. Sedangkan untuk memproduksi 1 kilo daging dibutuhkan 25.000 liter air, dan itu 200 kali lipat dibandingkan air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kilo kedelai, begitu juga dalam hamburger. Dalam prosesnya dibutuhkan lahan sebesar lapangan sepak bola, sementara dengan luas lahan sama kita bisa memproduksi berkilo-kilo kedelai.

“Jadi singkat kata, dengan menjadi vegetarian, kita telah membuat pilihan yang sangat berarti bagi lingkungan dan sesama,” tambah Dee.

Usaha Dee melestarikan lingkungan tidak hanya dibuktikan melalui pencegahan semakin besarnya industri daging, dengan tidak mengkonsumsinya. Melalui kemampuannya menulis, saat ini Dee berusaha menulis artikel di media massa mengenai permasalahan tersebut. Dee berharap apa yang dia lakukan akan memberikan pengaruh, setidaknya menggerakan orang untuk lebih sadar lingkungan.
“Di taman rumah, saya menanam pohon sebanyak-banyaknya, saya juga membuat kompos sendiri,” ujar Dee yang ingin mengurangi beban sampah kota.




Indri Widyanti Guli

1 comment:

Indri Guli said...

Tulisan ini rencananya bakal masuk di BRAGA edisi ke2, bulan Juni,(semoga...)
Isinya sih lumayan, tapi cara nulisnya berantakan, jadi banyak diedit sama mas agus, and it so hurt...
Kemampuan saya seperti merosot jauh untuk menciptakan sebuah artikel yg menarik,
Tapi memang agak berat untuk menulis tentang Dee ini, pasalnya saya tidak bisa bertemu langsung sama orangnya, menulis hanya dari cerita Kiki (fotografer) yg diutus hanya untuk mengambil Foto saat Dee menjadi pembicara Pelatihan Menulis di Bandung,
Ngga banyak informasi dari Kiki, karena dia juga ga punya kesempatan untuk tanya2 disana,
Akhirnya mengandalkan jawaban email yg berhari-hari baru dibales...
Berhasil sih (walawpun 'molor' sehari dari deadline yg seharusnya), tapi ga puas sama hasilnya...
Semoga bisa lebih baik lagi....amin.